Kamis, Desember 22, 2011

SUAMI TUKANG SELINGKUH


I
“Jangan percaya, jeng. Semua laki-laki itu buaya.” Begitu ucap Bu Wenni, tetangga sebelah yang juga teman arisan dan teman ngrumpi kalo sore. Sejak pindah di kompleks
ini dua tahun lalu, Linar memang lebih akrab dengan Bu Wenni dibandingkan dengan tetangga lainnya. Usianya sekitar 40-an. Pembawaannya ramah dan riang sehingga terkesan cepat akrab. Kepadanya, Linar sering curhat mengenai anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Bu Wenni memang bisa buat tempat curhat. Rumah tangganya terlihat aman dan tentram, Keluarga sakinahlah istilahnya. Suaminya seorang pejabat yang eselonnya cukup tinggi di pemerintahan. Anak pertamanya sementara kuliah di Fakultas Kedokteran salah satu Universitas Negeri. Sementara anak keduanya sebentar lagi lulus SMA. Keluarga berencana katanya. Dua anak lebih baik.
Ucapan Bu Wenni terngiang-ngiang terus di telinganya. Sejauh ini, hubungan rumah tangganya tergolong indah. Suaminya seorang karyawan perusahaan terkemuka yang menggurita hingga seluruh penjuru negeri. Meski sesekali keluar daerah untuk urusan kantor, tapi kebanyakan waktu kerja suaminya adalah di dalam kota. Setiap malam, ia menyambut suaminya pulang dan menemaninya makan malam. Sesekali diajak makan malam romantis di restoran terkenal. Atau nonton film hollywood terbaru di bioskop.
Nothing strange. Everything’s fine. Begitu pikirnya. Suaminya juga sangat care dengan anak-anak. Meski tidak terkesan memanjakan, karena sering dia dengar ia berbicara pada anak-anak mereka mengenai perlunya membeli sesuatu yang benar-benar dibutuhkan, tapi ia selalu berusaha menyediakan kebutuhan vital mereka, terutama yang terkait dengan pendidikan.
Apa yang harus kukhawatirkan? Pikir Linar. Semua laki-laki buaya. Ucapan Bu Wenni lagi. Tapi ia ingat semua tindak tanduk suaminya dalam 7 tahun pernikahan mereka. Tidak pernah neko-neko. Tidak pernah melakukan kesalahan. Bersih mengkilap. Ia dicintai oleh orang tua dan keluarga besar Linar. Suami idaman kata saudara-saudaranya. Jangan percaya, jeng. Bu Wenni lagi. Linar merasakan bibir Bu Wenni komat-kamit mengucapkan dua kalimat itu berulang-ulang tepat di depan matanya.
Jelang pukul 20. Terdengar deru mesin mobil memasuki garasi. Linar bergegas ke meja makan memastikan semua hidangan dan perlengkapannya telah tertata sempurna. Ia lalu menuju ke pintu depan dan mendapati suaminya berjalan memasuki ruang tamu. Wajahnya tampak lelah, tapi di bibirnya terkembang sebuah senyum yang tak pernah lupa ia tampilkan setiap memasuki rumah. Lalu basa basi mengenai anak-anak dan pekerjaan kantor yang berat. Lalu mereka makan malam, mandi air hangat, nonton dan tidur.
Rutinitas itu berlangsung setiap malam. Kadang diakhiri dengan percintaan yang menggebu hingga keduanya terhempas kelelahan. Linar puas, suaminya juga. Meski sudah 7 tahun menikah, intensitas percintaan mereka masih cukup tinggi. Kadang Linar diam-diam membandingkannya dengan suami lain yang didengarnya dari cerita ibu-ibu kelompok arisan atau tetangga-tetangganya.
Sesudah melenguh puas, suami Linar tergeletak kelelahan. Langsung tertidur. Tapi dari wajahnya terlihat ia sangat puas. Linar mengambil selimut dan menutupkannya ke atas tubuh suaminya. Ia buaya, karena ia laki-laki. Pikiran itu tiba-tiba berkecamuk di kepalanya kembali. Mata Linar nyalang memandang langit-langit. Ia bangkit dari ranjang, berjalan perlahan ke sisi tempat tidur dan menemukan telepon genggam suaminya. “Periksa hand phone nya. Biasanya ia ganti nama perempuan dengan nama laki-laki.” Begitu kata Bu wenni suatu waktu.
Ia lalu menekan tuts telepon itu dan menelusuri seluruh panggilan yang dilakukan suaminya seharian ini. Begitu pula dengan pesan singkat. Inbox, out box, pesan terkirim, draft, delivery report atau apapun. Meski ia mencari sesuatu, tapi hati kecilnya tidak ingin menemukan apapun. Ternyata memang tidak ada apa-apa. Iapun kembali ke tempatnya dan tertidur pulas, siap mengawali aktifitas untuk keesokan harinya.
II
Menghapus seluruh pesan dari inbox dan pesan terkirim ke sebuah nomor tertentu, menghapus seluruh delivery report pesan singkatnya, serta menghilangkan jejak panggilan masuk atau panggilan keluar ke nomor itu dari telpon genggamnya, adalah ritual yang wajib dijalani Jordan setiap hari saat ia sudah menuntaskan seluruh aktifitas hariannya di kantor. Betapapun lelahnya ia setelah duduk berjam-jam di depan komputer, atau setelah lelah mengunjungi kantor-kantor cabang perusahaannya yang tersebar di berbagai sudut kota, aktifitas yang satu itu tidak pernah dilewatkannya. Jempolnya sudah terbiasa bersibuk ria, bergerak lincah dari tuts yang satu ke tuts yang lain melakukan “pembersihan”.
Memasuki kompleks perumahan tempat tinggalnya dua tahun terakhir ini, Jordan kembali mengecek isi Hpnya. Memastikan tak ada jejak yang tersisa sama sekali. Begitu mobil memasuki garasi, iapun bergegas keluar dan membiarkan sopir menyelesaikan tugansya.
Memasuki ruang tamu, Istrinya yang cantik sudah menyambut dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan singkat. Lalu menggandeng tangannya menuju meja makan. Setelah basa basi tentang anak-anak dan pekerjaan kantor yang berat, mereka makan malam. Mandi air hangat. Nonton lalu tertidur.
Kadang, jika istrinya melakukan sentuhan-sentuhan khas yang sudah dipahaminya, ia akan segera mengumpulkan sisa tenaga lalu menggempur istrinya seperti pemuda kasmaran yang mabuk kepayang. Dipuncak kelelahannya, ia tampilkan senyum kepuasan sebelum jatuh tergeletak kehabisan tenaga.
III
Sebuah pesan singkat muncul di layar teleponnya, “jam berapa ke sini, Mas?” Jordan buru-buru menjawab. “Sebentar sayang. Tunggu habis rapat staf dulu.”
“Ok, Mas.”
Usai rapat staf, Jordan menyelinap keluar lewat pintu belakang kantor, lalu mengambil taxi dan meluncur ke sebuah apartemen yang tidak jauh dari situ. Bergegas ia menuju elevator dan menghilang di balik pintunya. Sesaat kemudian, ia sudah berada di lantai 12. Badannya dari tadi sudah gemetar membayangkan keindahan tubuh Dara, gadis muda berbadan imut yang kulitnya mulus bagai pualam.
Di depan pintu, Jordan mengeluarkan sebuah kunci gesek elektronik dari saku celananya, lalu membuka pintu. Di ruang tamu apartemen mewah itu, telinganya diserbu suara piano Richard Clayderman yang membawakan lagu “Ave Maria.” Ruang tamu itu lengang.
Tanpa menimbulkan suara, Jordan berjalan menuju ke kamar tidur. Perlahan ia buka pintu lalu melangkah masuk. Dilihatnya Dara di tempat tidur. Jordan menutup pintu kamar. Lalu berjalan menghampiri Dara yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. Posisi dara yang membelakanginya, dengan pinggul menjulang indah membangkitkan gairah Jordan. Jordan berbaring di sisi Dara lalu merangkulnya dari belakang. Dara menggeliat lalu menoleh, wajahnya berhadapan dengan wajah Jordan yang sudah begitu dekat dan menghangatkan wajahnya dengan nafas yang memburu. Dara tersenyum. “Dari tadi, mas?”
“Baru aja.” Jawab Jordan, seraya melumat bibir Dara. Dara membalikkan badan sehingga mereka kini berhadapan.
“Buka bajunya dulu, mas. Ntar kusut.” Kata Dara, setelah bibirnya terbebas dari Jordan. Jordan menurut. Lalu kembali melompat ke atas tempat tidur. Mereka lalu tenggelam dalam gelora asmara yang membara.
Satu jam kemudian, Jordan bangkit dari tempat tidur. Usai membersihkan diri di Kamar mandi, ia sudah berpakaian lengkap.
“Aku harus kembali ke kantor sekarang.”
“Kapan ke sini lagi, mas?”
“Segera, sayang. Segera.” Katanya lalu sebuah ciuman panjang yang enggan dilepaskannya mengakhiri pertemuan itu. Ia berjalan kaki keluar dari pekarangan apartemen lalu mengambil taxi dan meluncur kembali ke kantornya yang letaknya tak jauh dari situ.
Setibanya di kantor, ia kembali tenggelam dalam kesibukan. Tapi kali ini ia lebih ceria dan lebih bersemangat. Selingkuh membuatku jadi lebih energik. Begitu pikirnya.
IV
Kegundahan hati Linar kembali bangkit usai bertemu Bu Wenni sore tadi. Walau selama satu setengah jam Linar berusaha meyakinkan Bu Wenni, bahwa di telpon suaminya tak ada sesuatupun yang bisa dijadikan bukti adanya perselingkuhan, tapi Bu Wenni terus merecokinya dengan berbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan oleh Linar.
“Jeng, perhatikan pengeluaran suami.” Kata Bu Wenni. “Kalau suami selingkuh, pengeluarannya pasti tidak wajar,” lanjutnya. “Harus ada dana yang dikeluarkan untuk membiayai hubungan itu, jeng. Mana ada perempuan yang mau ditiduri dengan gratis sekarang ini.”
Linar terdiam. Selama ini ia memang tidak pernah mengutak atik total pemasukan suaminya. Yang dia tahu, seluruh kebutuhan rumah tangganya terpenuhi. Dia juga punya rekening bank sendiri yang setiap bulan selalu diupdate oleh sang suami. Belum lagi dua lembar kartu kredit yang limitnya cukup untuk membiayai kebutuhan insidentilnya. Bahkan kepada orang tua dan adik-adiknya, suaminya tidak pernah menolak jika ada yang butuh bantuan. Terakhir, ketika ayahnya masuk rumah sakit karena serangan jantung, suaminyalah yang membiayai seluruh biaya pengobatannya.
Mungkinkah pemasukan suaminya lebih besar dari yang dia ketahui selama ini sehingga mampu membiaya seorang atau beberapa orang perempuan lain? Linar terduduk dengan perasaan masygul. Celoteh Bu Wenni tentang tetangga lain yang malas bayar arisan sama sekali tidak nyangkut di kepalanya.
Kecurigaan yang disulut Bu Wenni perlahan-lahan mulai membakar hatinya. Benarkah suami idaman yang menemani hidupnya tujuh tahun terakhir ini adalah buaya? Benarkah kebaikan suaminya selama ini hanyalah satu sisi dari dua sisi kehidupan suaminya yang ternyata berseberangan?
“Coba jeng sekali-sekali periksa rekeningnya, atau bill kartu reditnya. Jangan-jangan ada pengeluaran suami yang tidak jeng sangka-sangka.” Linar hanya mengangguk pelan, “Udah, ya. Saya pulang dulu.”
Linar mengangguk lagi dan membalas dengan enggan lambaian tangan Bu Wenni yang beranjak pulang ke rumahnya.
Rekening Bank, tagihan Kartu Kredit, struk belanja atau apa saja. Pasti ada yang tertinggal. Linar bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju ruang kerja suaminya. Di ruangan yang juga berfungsi sebagai perpustakaan itu Linar berdiri mematung. Pandangannya diarahkan berkeliling sambil berpikir, dimana pencariannya dimulai.
Dengan jantung berdebar, ia mulai bergerak ke meja tulis berukuran besar lalu duduk bersandar di kursi berjok empuk yang bergoyang menerima tubuhnya. Beberapa berkas yang tergeletak di sudut meja diambilnya lalu dibuka lembar demi lembar. Tak ada apa-apa. Dia tidak akan menyimpan bukti seperti itu dengan asal-asalan, ucapnya, menirukan Bu Wenni. Kemudian tangannya menjangkau handle laci meja. Ditariknya laci itu satu persatu, dengan ujung jarinya yang lentik ia menelusuri apapun yang ada di dalam setiap laci sampai akhirnya ia merasa bodoh.
Tidak ada apa-apa di sini. Seluruh buku tabungan dan rekening koran tersimpan rapi. Sepertinya tidak dicetak sejak dua bulan terakhir. Tapi dari yang tercetak, Linar tidak menemukan kejanggalan apa-apa. Sejumlah pengeluaran berjumlah besar memang terlihat dari deretan angka-angka itu, tapi Linar tahu bahwa itu untuk pengeluaran rutin keluarga mereka. Berbagai macam premi asuransi, cicilan kendaraan dan beberapa investasi reksadana.
Tangannya lalu menemukan sejumlah amplop tagihan kartu kredit yang pada umumnya hanya mencantumkan jumlah kecil tagihan yang tidak berarti. Kecuali dua lembar yang harus dibayar dengan angka yang cukup besar, tapi Linar tahu bahwa itu kartu yang dipegangnya sendiri.
Linar akhirnya terduduk lesu di atas kursi itu dan membiarkan detak jantungnya mereda. Bu Wenni pasti salah, pikirnya, tapi dengan keragu-raguan yang menggantung. Ia bangkit. Jam dinding sudah hampir menunjukkan angka 6. Waktunya memandikan anak-anak. Biasanya kalu pembantu yang memandikan mereka, pembantu juga harus ikut mandi.
Di luar kesadarannya, sikap Linar terhadap suaminya dalam beberapa hari terakhir ini tidak lagi seperti biasa. Setiap memandangi wajah suaminya, ia justru melihat wajah buaya yang menganga lebar. Setiap dikecup suaminya, ia tidak membalas dengan hangat karena merasa dikecup oleh seorang pengkhianat. Menyiapkan makan malam untuk suaminyapun juga sudah tidak secermat sebelumnya, karena otaknya dipenuhi pikiran memberi makan seorang pembohong. Perubahan itu berlangsung perlahan tapi pasti dan mulai mengancam keharmonisan hubungan rumah tangga Linar.
V
Bayar dengan uang cash. Jangan sekali-kali membayar dengan kartu kredit atau kartu debit. Gampang terlacak. Itu pelajaran utama yang selalu terngiang di telinga Jordan. Makanya deposit box di kantornya tidak pernah terisi uang kurang dari 10 juta. Setiap kali ada janji bertemu dengan Dara, paling tidak lima juta rupiah menyesaki saku celananya. Jika terpaksa membayar dengan kartu kredit, segera lunasi, biar billnya tetap bersih. Lalu struknya, segera musnahkan. Kalau perlu telan.
Usai bercumbu di ruang tamu apartemen, Jordan menjatuhkan diri di lantai beralas karpet tebal, sembari menghembuskan panjang. Sekilas dipandanginya Dara yang masih tergolek tanpa busana di atas sofa. Ia tersenyum puas. Dara hanya membalas dengan kerlingan nakal. Jam 10.30 pagi. Mestinya sekarang Jordan berada salah satu gudang yang terletak di pinggir kota untuk melakukan inspeksi. Persetan dengan inspeksi, pikirnya. Dara adalah segala-galanya sekarang.
Gadis itu sebenarnya tidak terlalu istimewa. Wajahnya pas-pasan saja. Pasti tidak cukup PD berdampingan dengan istrinya yang anggun. Tapi Dara memiliki tubuh imut yang sangat digandrungi Jordan. Lalu kulitnya, kulitnya putih mulus bagai pualam. Jika disentuh rasanya lembut seperti kulit bayi, tapi membakar birahi. Saat pertama kali melihatnya, Jordan tidak langsung jatuh hati. Apalagi Dara hanyalah pekerja magang berwajah biasa-biasa yang lebih banyak bertindak sebagai pelengkap penderita. Sangat tidak penting.
Barulah ketika Dara memasuki kantornya dan menyodorkan secangkir kopi, Jordan melihat sepasang tangan lembut yang mungil, yang kulitnya bersinar kontras dengan blazer hitam yang dikenakannya.
Jordan yang sedang menelpon memandang tak percaya pada tangan yang sempurna itu, lalu perlahan ia mengarahkan pandangan ke wajah gadis itu. Ia makin terpesona melihat kulit wajah, leher dan dada yang jauh lebih mulus. Jordan menelan ludah.
“Siapa namamu?” Tanya Jordan, setelah menutup microphone telpon dengan telapak tangannya.
“Dara, Pak.” Jawab gadis itu, sambil membungkukkan badannya sedikit. “Permisi, Pak.” Gadis itu berbalik dan melangkah ringan menuju pintu. Goyangan pinggulnya membuat Jordan tak sempat menjawab. Matanya tak kuasa beralih dari sosok sempurna itu, hingga akhirnya menghilang di balik pintu.
Sejak hari itu, Jordan diam-diam melakukan pendekatan intensif sekaligus penuh muslihat. Tak sampai seminggu, ia sudah berhasil mendapatkan nomor telepon Dara. Dan hanya dalam waktu sebulan ia sudah berhasil mengajak Dara belanja di Mall dan makan malam Romantis di sebuah restoran Jepang. Tapi Jordan perlu waktu tiga bulan untuk bisa mengajak Dara ke tempat tidur. Itupun karena ia mengiming-imingi Dara dengan janji akan dinikahi.
Ia meminta Dara berhenti bekerja, agar tidak ada orang di kantor yang curiga pada hubungan mereka. Sebagai kompensasinya, Jordan menyewakan sebuah apartemen lengkap dengan perabot disertai tunjangan biaya hidup bulanan yang konon sebagian dikirim Dara kepada orang tuanya di Kampung. Jordan tidak mau tahu kampung orang tua Dara. Juga tidak mau tahu berapa yang dikirimkan Dara kepada orang tuanya. Yang ada di kepala Jordan hanyalah bagaimana ia bisa mendekap tubuh mungil Dara yang terbungkus kulit mulus bagai pualam itu. Yang penting baginya, Dara selalu ada kapanpun dia perlukan. Tak peduli berapapun biayanya. Toh istrinya tidak akan tahu.
VI
Apapun yang terjadi, Buaya darat ini harus mengaku. Itu tekad Linar, tak peduli bagaimana caranya. Meski seluruh upaya pencariannya berakhir sia-sia, tapi itu tidak berarti seluruh kemungkinan selingkuh yang dilakukan suaminya tertutup, dan kemungkinan kecil itulah yang ingin dikejar Linar. Kebaikan dan kehangatan suami yang selama tujuh tahun terakhir dirasakannya telah menguap pergi entah kemana. Darah Linar mendidih setiap kali menyaksikan tingkah laku alim suaminya bila berada di rumah, karena menurut perasaannya, semua itu hanya untuk menutupi boroknya d luar sana.
Linar gelisah. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, tapi matanya belum juga mau terpicing. Sesudah memeriksa kembali telpon genggam suaminya yang berakhir dengan hasil nihil, ia putuskan untuk mencari cara lain yang lebih ampuh. Tapi Linar tidak tahu apa itu. Kapan-kapan Ia akan bertanya pada Bu Wenni.
Jantungnya serasa terlontar keluar ketika tiba-tiba tangan suaminya menyentuh dan membelai bahunya. “Ma, koq belum tidur?” Tanya suaminya lirih, “sakit, ya?” Kerongkongan Linar kering. Tapi ia berusaha menggeleng, meski kemudian ia menyadari betapa bodohnya ia menggeleng di kegelapan. Ia sentuh tangan suaminya, lalu perlahan di tepiskannya. Bukannya menjauh, tangan itu justru merangkulnya.
Suami Linar menggeser tubuhnya, sehingga badannya kini merapat di punggung Linar. “Beberapa hari belakangan ini mama terlihat kurang sehat. Ada apa sih, Ma?” tanya suaminya lagi.
Sok suci, pake nanya-nanya lagi. Umpat Linar dalam hati. Dasar Buaya.
“Tingkah mama juga rada aneh. Ngutak atik meja kerja papa, mencet-mencet telpon papa, trus kadang keluar rumah siang-siang tanpa ngasih tau pembantu mau kemana.” Linar tercekat dan berusaha menggeliat, tapi tetap bungkam. Jantungnya berdebar kencang. Rangkulan suaminya makin erat.
“Ma, cerita dong. Mama ada masalah apa?”
“Nggak. Tidur aja, pa.” Jawab Linar, agak ketus.
Linar merasakan tangan suaminya meremas bahunya. Lalu sebuah kecupan mendarat di tengkuknya.
“Kayaknya mama mulai gak percaya sama papa, ya?” Suara suaminya terdengar lebih jelas sekarang. “Mama pikir papa main gila sama perempuan lain, ya?” Nah... Linar bereaksi. Ia meronta melepaskan diri dari pelukan suaminya. Dinyalakannya lampu baca yang ada di sisinya. Lewat cahaya yang temaram itu, ia tatap wajah dan mata suaminya.
“Emangnya papa selingkuh, ya?” Tanya Linar dengan suara bergetar menahan tangis. Pandangannya menusuk tajam menyelidik ke mata suaminya. Suaminya ikut bangun lalu balas menatap dengan mata tak kalah tajam.
“Astghfirullah, Ma. Dari mana datangnya pikiran itu?”
“Papa ngaku aja deh, papa selingkuh ‘kan?” Cecar Linar. Air mata kini mengambang di pelupuk matanya.
Suami Linar tertegun, merasa baru saja mendengar suara geledek. Ia lalu bangkit dari tempat tidur menyalakan lampu kamar sehingga kamar itu sekarang terang benderang. Linar ikut berdiri dan mendekati suaminya seperti seekor banteng yang terluka.
“Ma, sabar dong, ma.” Suaminya berusaha memegang tangan Linar, tapi ditepiskannya dengan kasar
“Nggak, sekarang papa ngaku kalo papa punya WIL.” Suara Linar meninggi.
“Ya ampun, ma. Setan apa sih yang merasuki kepala mama?”
“Setan, setan, setan. Yang setan itu Papa, tau nggak?”
Suami Linar berdiri mematung. Memandang Linar dengan pandangan tak percaya. Ia menepuk jidat seraya istighfar beberapa kali. Linar masih berdiri menantang di hadapan suaminya. Meski matanya mengabur oleh air mata, ia siap menerkam.
“Masya Allah, Ma. Emangnya tadi mama mimpi apa?”
“Mama gak mimpi. Mama nggak kerasukan. Mama sadar. Yang kerasukan tuh, Papa. Iya ‘kan?”
Suami Linar mundur, ia berjalan gontai menuju ranjang lalu terduduk layu di tepinya. Sesaat keheningan yang menyesakkan dada memenuhi ruangan itu.
“Ayo ngaku...” bentak Linar.
“Ma, kalau papa ngomong sesuatu, mama masih percaya nggak?” tanya suaminya.
“Alah, paling juga cuma nyari alasan.” Sembur Linar. “Kata Bu Wenni, Kalau...”
“O, rupanya Gara-gara Bu Wenni.” Potong suami Linar seraya bangkit dari ranjang mendekati istrinya. Ia tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Bu Wenni ngomong apa aja sama mama?”
“Banyak.”
“Trus, mama percaya?”
“Ya iyalah.”
“lebih percaya mana dia daripada Papa?”
Linar terdiam.
“Sekarang papa mau bicara,” ia genggam kedua tangan Linar dengan lembut, “kalau kira-kira mama nggak percaya sama penjelasan papa, dan lebih percaya sama Bu Wenni, sia-sia dong kita diskusi.”
Linar menatap suaminya, pandangannya tajam, mencari kebenaran di mata suaminya. Ia luruh, sinar matanya redup dan berubah menjadi sejuk. Cukup lama mereka hanya saling menatap, lalu akhirnya ia menurut ketika suaminya menariknya ke tempat tidur.
Setengah jam kemudian berlalu dengan penjelasan dari suami Linar, bahwa dalam tujuh tahun terakhir ini, Linarlah perempuan satu-satunya yang dia cintai. Ia merasa tidak perlu membuktikan apa-apa, karena sikap dan perbuatannya selama ini, baik untuk keluarga kecil mereka maupun untuk keluarga besar Linar, sudah cukup menjadi bukti kasih sayangnya yang tidak terbagi.
Bahwa kadang ia tergoda untuk melirik perempuan lain yang lebih cantik, itu adalah hal yang wajar karena ia laki-laki normal. Toh hanya sekedar melirik, tapi tidak lebih dari itu. Ia mencontohkan, kalau Linar menonton infotaintment, kadang Linar secara tidak sengaja memuji ketampanan aktor atau public figur lainnya yang good looking. Baginya itu lumrah, manusia memang memiliki kecenderungan menyukai hal-hal yang indah. Tapi tidak membuat cinta Linar berubah dan dia akan ditinggalkan oleh Linar.
Rentetan kalimat yang mengalir deras menyiram hati Linar seperti tetesan embun yang sejuk. Apalagi ditambah janji bahwa sisa hidupnya adalah mengabdi pada Tuhan dengan membina keluarga dan anak-anak mereka yang masih kecil agar siap menghadapi masa depan yang lebih garang.
“Sudah lama kita tidak shalat tahajud bareng. Yuk, mending kita shalat, biar hati mama lebih tentram.” Linar menangis di pelukan suaminya. Dalam hati, ia berjanji tidak akan gampang termakan “hasutan” Bu Wenni lagi. Dalam shalatnya ia serahkan suaminya sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Sekarang Linar sadar, tak ada apapun yang bisa dia lakukan sebagai manusia.
VII
Menyangkallah sampai titik darah penghabisan. Pesan Jordan pada dirinya sendiri, sampai ada bukti yang berkata sebaliknya, jangan mengaku walau nyawa taruhannya. Jika suatu ketika istirnya bertanya mengenai tingkah lakunya di luar sana, seribu satu alasan sudah disiapkan. Seribu satu skenario sudah tersusun rapi.
Berbagai teori kemungkinan terungkapnya perselingkuhan Jordan dengan Dara sudah diperhitungkan Jordan dengan masak-masak. Diam-diam ia memuji dirinya sebagai seorang pembohong ulung, seorang penipu terlatih. Ia tertawa, menertawakan kelicikannya, dan menertawakan keluguan istrinya.
Di rumah ia alim bagai malaikat. Di kantor ia santun dan berwibawa. Tapi di apartemen yang disewa untuk dara, dia bagaikan remaja baru menginjak masa puber yang mabuk kepayang. kepribadiannya terpecah, dan dia bangga akan dirinya.
Ketika di tengah malam istrinya gelisah, ia tampil sebagai suami penuh perhatian. Kata-kata yang penuh wangi bungai terangkai cermat keluar dari mulutnya, menghujani istrinya yang gundah dan menjelma menjadi air sejuk yang menyegarkan. Jordan memang lihai merangkai kata. Istrinya hanyut dalam dekapannya dan seolah melupakan seluruh beban pemikiran yang menggelayut di hatinya. Itulah sosok suami ideal, bathinnya.
VIII
Hidup Linar kembali normal. Rutinitas harian kembali dijalaninya dengan santai, persis seperti sebelumnya. Diskusi dan curhat sama Bu Wenni masih terus berlanjut, tapi tak lebih jadi bahan diskusi untuk memperkaya wawasannya. Sekarang ia lebih banyak bersandar pada kehendak Tuhan.
Ia mulai menata hidupnya kembali. Dan cara pandang itu membantunya membangun kepercayaan kepada sang suami. Ah, ternyata hidup lebih indah dengan saling memahami dan saling mempercayai. Apapun yang terjadi di luar sana, ia tidak peduli.
IX
Jordan melangkah ringan memasuki kantor. Seperti biasa, hampir seluruh staf yang dilewatinya disapa dengan ramah. Saat berada di depan meja sekretarisnya, ia melihat pemandangan yang sedikit berbeda. Bella, gadis yang selama dua tahun terakhir menjadi sekretaris pribadinya, dan biasanya duduk manis di belakang meja satu biro, tidak tampak batang hidungnya. Jordan memandang berkeliling. Seorang rekan Bella yang menangkap pandangan bertanya itu mendekat lalu memberi penjelasan bahwa Bella sedang menemani tiga orang tamu dari sebuah kementerian.
“Koq ga bilang?”
“Udah, pak. Dari tadi Bu Bella nelpon bapak tapi HP ga aktif. Ditelpon ke rumah kata Ibu bapak sudah berangkat dari tadi.”
Jordan merogoh saku mengeluarkan telpon genggam dan mendapati benda itu masih offline.Sialan, umpatnya. Semalam ia terpaksa mengubah mode telponnya karena Dara selalu menelpon.
“Jadi, sekarang mereka di mana?”
“Di ruang konferensi, pak.”
Jordan menuju ruang konferensi yang terletak di samping kantornya. Di dalam ia mendapati tamunya sedang berbincang serius dengan Bella. Salah seorang diantaranya ia kenal sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, namanya Gunawan. Dua orang lainnya diperkenalkan sebagai Konsultan Pengawas.
Mereka berjabat tangan dan berbasa-basi seperlunya. Bella pamit untuk melanjutkan tugasnya.
Gunawan lalu membeberkan maksud kedatangannya, bahwa atasannya merasa tidak puas dengan barang yang disupply perusahaan Jordan. Barang-barang itu tidak layak pakai karena kualitasnya rendah, tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dalam kontrak.
Jordan berpikir, mengapa barang-barang itu bisa rusak. Pasti rusaknya di Gudang, katanya dalam hati. Seharusnya aku selalu mengecek prosedur penyimpanan di gudang. Jordan mendesah, mulai menyesali dirinya sendiri.
Masalahnya, kata Gunawan, waktu yang diperlukan untuk penyelesaian proyek ini tinggal tiga bulan.
“Jadi, bagaimana dengan barang saya yang sudah ada di lokasi?” Tanya Jordan.
“Maaf, pak. Tidak bisa kami gunakan. Konsultan pengawas kami tidak merekomendasikan pemakaiannya.” Dua pria lain yang menyertai Gunawan mengiyakan. Mereka lalu terdiam, menunggu respon Jordan lebih lanjut.
Jordam terdiam, pikirannya melayang pada pemesanan, dokumen import, shipping, dandeliverynya ke lokasi.
“Berapa lama waktu saya, Pak Gun?”
“Satu minggu.”
“Apa, satu minggu?” Sergah Jordan, “mana mungkin kami bisa menggantinya dalam satu minggu?”
“Maaf, pak. Kita dikejar deadline batas akhir pencairan anggaran di sekretariat kementerian. Seluruh administrasi proyek ini harus selesai sebelum pertengahan Desember.” Gunawan menambahkan bahwa jika dalam waktu satu minggu ke depan perusahaan Jordan tidak bisa mensupply dengan barang yang tepat, maka atasan Gunawan terpaksa melakukan pemutusan kontrak.
Jantung Jordan menciut, kontrak itu bernilai ratusan miliar. Bukan hanya itu, untuk memenangkan tender, Jordan harus menyuap sejumlah pejabat dan panitia pengadaan di kementerian itu dengan angka tidak kurang 15% dari nilai kontrak.
“Pak, boleh saya minta tambahan waktu?” Tanya Jordan, memohon.
Gunawan menggeleng “Ada pasal dalam MoU kita yang mengatur tentang waktu. Coba bapak lihat pasal 34, di situ tertulis, bilamana Pihak Kedua, ini maksudnya perusahaan Pak Jordan, tidak bisa menepati waktu ... “ Pendengaran dan penglihatan Jordan sudah kabur. Ia tahu isi pasal itu dan ia juga tahu bahwa di ujung pasal itu, Pihak Kementerian bisa melakukan pemutusan kontrak secara sepihak.
Gunawan masih membentangkan sejumlah dokumen mengenai denda ratusan juta rupiah atas kelalaian menepati kontrak yang semakin membenamkan Jordan. Ia hanya memandangi tumpukan kertas itu dengan mata nanar. Rasanya seluruh gedung menimpa kepalanya.
Saat Gunawan dan rekan-rekannya pamit ia hanya melambai dan berjanji akan mengusahakan penyelesaian masalah itu secepatnya. Satu minggu? Mana mungkin. Bantahnya dirinya sendiri. Ia mengomel dan mengeluarkan sumpah serapah seraya berjalan gontai menuju ke meja kerjanya lewat sebuah pintu yang menghubungkan ruang konferensi itu dengan ruang kantornya. Di sana ia menjatuhkan diri di kursi kerja yang empuk, tapi sekarang terasa berduri.
Telpon di atas meja berdering, ia diam.
Berdering lagi, ia masih mematung, hanya matanya yang menatap benda itu.
Ketika telpon itu berdering untuk kesekian kalinya, akhirnya dengan malas ia mengangkat gagangnya.
“Mas...” terdengan suara seorang wanita di ujung sana.
Itu Dara, sejak tadi malam Jordan sebenarnya merasa kesal pada gadis itu. Saat nonton TV dengan istrinya, Dara menelpon ke HP Jordan. Untungnya, yang muncul di layar telpon hanya deretan angka yang sudah dihapal Jordan di luar kepala. Sehingg ia bisa meyakinkan istrinya bahwa paling-paling itu adalah panggilan kesasar. Makanya, untuk mengamankan, ia ganti mode telponnya ke offline.
“Sudah kubilang jangan nelpon kalo aku sudah di rumah, atau jangan telpon ke nomor kantor. Kamu sudah gila, apa?” Bentak Jordan, “Kamu ...”
“Maaasss, aku hamiiiil!!!!” Dara berteriak dari seberang sana. Memutuskan kata mutiara yang sudah siap terlontar dari mulut Jordan. “Aku hamil...” katanya lagi diiringi isak tangis. Jordan kehilangan kata-kata.
Sejak tadi malam Dara berusaha menghubungi Jordan. Dara panik, orang tuanya di kampung mengira ia bekerja di sebuah perusahaan bonafide, dengan gaji tinggi, sehingga bisa menyewa apartemen mewah dan mengirimkan uang secara rutin untuk orang tua dan adik-adiknya.
Meski hidup pas pasan, orang tua dan keluarga besar Dara adalah orang yang cukup terpandang di Kampung mereka, sehingga hamil di luar nikah adalah aib tak terperi yang akan mencoreng wajah seluruh keluarga besarnya. Sekarang, Jordan harus bertanggung jawab menutupi aib itu.
Itu hal yang tidak pernah diperhitungkan Jordan. Bahwa Dara adalah seseorang yang berharga bagi keluarganya. Selama ini nafsu telah menutup mata Jordan terhadap sisi manusiawi gadis itu sehingga secara perlahan-lahan, image tentang Dara yang terbentuk dalam pikirannya hanyalah gadis mungil berkulit mulus bagai pualam yang lahir untuk memuaskan nafsunya.
Entah mimpi apa aku semalam, kenapa semua berantakan pagi ini?
“Jadi... ?” tanya Jordan kemudian, suaranya terjepit di kerongkongan.
“Aku takut, Mas.” Sekarang Dara benar-benar menangis.
Jordan menghela napas dalam-dalam, mengacak dan meremas rambutnya lalu menghembuskan nafas keras-keras. Ia ingat, Dara pernah memintanya untuk segera menikahinya, “sebelumnya, aku ini wanita baik-baik, Mas, walau kelakuanku sekarang bukan kelakuan orang baik-baik. Sudah cukup dosa perzinahan ini.” katanya memelas. Tapi Jordan hanya menjawab enteng, “Gampang... sayang, gampang. Kita pasti akan segera menikah.”
Jordan membenturkan kepalanya ke meja berkali-kali. Beberapa lembar berkas yang ada di atas meja ditepiskannya dengan kasar hingga jatuh ke lantai, berhamburan bersama benda lainnya, termasuk telpon yang belum sempat dia tutup. Sayup-sayup didengarnya suara Dara memanggil namanya. Tenang, Jordan. Tenang. Kamu pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Katanya pada diri sendiri. Suruh Dara menggugurkan kandungannya. Beri dia segepok uang, dia pasti diam.
Bergegas ia menuju ke mobilnya yang terparkir di depan Lobby. Sopirnya tergopoh-gopoh mendekat dan bertanya Jordan mau diantar ke mana tapi tidak dijawabnya. Hanya tangannya yang terulur meminta kunci mobil. Biar aku pergi sendiri, katanya. Sesaat kemudian, ia sudah berada di jalan raya menyelinap di antara kebisingan dan keramaian lalu lintas.
Masalah penggudangan yang luput dari pengawasannya, kehamilan Dara yang tidak terduga, inspeksi yang lalai dia lakukan, lenguhan Dara di bawah tubuhnya, manajer pergudangan yang tidak becus, pengaman dalam berhubungan sex, suap menyuap pejabat kementerian, kulit Dara yang mulus bagai pualam, nilai kontrak ratusan miliar yang terancam batal, kerling mata nakal Dara, barang yang tidak layak pakai, janji menikahi Dara, kerugian perusahaan hingga ratusan milyar, tubuh mungil Dara yang sintal, kebangkrutan perusahaan, merubung di atas kepala Jordan seperti lalat merubung bangkai. Berdengung bersahut-sahutan memekakkan telingan.
Bayangan kehancuran masa depan karier dan keluarganya tiba-tiba membentuk gambar yang semakin lama semakin nyata. Berkelebat di atas kepalanya bersama-sama dengan wajah Gunawan yang mengancam, wajah Dara yang menagis histeris, serta wajah lugu istrinya yang sabar. Dia berteriak sekeras-kerasnya. Di luar kesadarannya, kaki kanannya menancap pada pedal gas membuat mobil meluncur oleng di jalanan yang sesak. Pandangan Jordan gelap saat mobil itu melayang, terbang setelah menyenggol pembatas jalan.
X
Seorang dokter dengan kostum operasi lengkap dengan masker muncul dari balik Pintu ruang Operasi. Ia berhenti sejenak, memandang berkeliling dan mendapati istri Jordan yang sedang duduk gelisah.
“Bagaimana suami saya, Dok.” Tanya wanita itu seraya berdiri mendekati sang dokter. Wajahnya cemas, pucat oleh tekanan bahin yang luar biasa.
“Maaf, bu. Kami tidak bisa menyelamatkan nyawa Pak Jordan, luka di kepalanya terlalu parah.” Istri Jordan terkulai lemas, untung tubuhnya ditangkap oleh dokter itu.
XI
Dara menunggu, terus menunggu. Jam dinding berdetak, mengabaikan kegelisahan dan penantian Dara yang tidak berujung. Tak peduli pada keresahan hati Dara yang menunggu Jordan. Terus bergerak dari menit ke jam, hingga akhirnya ia kembali ke posisinya semula, dan penantian Dara tetap tak berakhir.
Ia beranjak lesu ke kamar tidur. Sebilah pisau silet sekarang tergenggam di tangan kanannya.Maafkan aku ibu, ayah. Aku gagal jadi orang yang engkau harapkan. Bisiknya, lalu dengan mata mengabur oleh air mata, ia cari urat nadi di tangan kirinya. Sudut pisau silet diletakkannya beberapa senti di sekitar arteri, lalu ia gerakkan silet itu melintang, tepat memotong urat itu.
XII
Di kamar tidur, Linar menyaksikan breaking news di sebuah TV swasta tentang penangkapan seorang pejabat kementerian yang diduga melakukan korupsi dan menerima suap dari sejumlah rekanan pemenang tender. Menurut berita itu, polisi akan segera menelusuri seluruh perusahaan yang terlibat dalam proyek skala besar itu.
Suami Linar memasuki kamar dengan membawa sekeping VCD, “Kayaknya kita perlu nonton ini, Ma.” Tanpa menunggu Linar mengiyakan atau mengangguk, ia sudah memasang keping VCD itu di player dan memindahkan mode input TV.
“Papa, mama lagi nonton berita.” Protes Linar.
“Berita apa?”
“Penangkapan, tuh ada koruptor ketangkep.”
“Koruptor ketangkep sih sudah basi, ma. Tiap hari juga ada. Kalo koruptor dihukum mati, itu baru berita. Udah kita nonton ini aja,” katanya sambil menyodorkan sampul VCD yang bertuliskan: Respsi Pernikahan Damar dan Linar 10 Juli 2004.

Tidak ada komentar: