Kamis, Desember 15, 2011

Quo Vadis Revisi UU No 32


Rencana pemerintah merevisi UU nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah untuk dipecah menjadi 3 UU terpisah, yaitu UU Pemerintahan Daerah, UU Pemilihan Umum Kepala Daerah dan UU Desa patut diapresiasi. Jika rencana ini terwujud,
bukan tidak mungkin praktek penyelenggaraan Pemerintaha Daerah sebagai bagian integral dari Pemerintahan Nasional akan mengalami perbaikan yang signifikan.
Hanya saja patut pula dicermati bahwa kelemahan – kelemahan yang terjadi dalam penyelenggaraan otonomi daerah bukan saja karena kelemahan dalam piranti lunak berupa aturan perundang-undangan yang telah di break down dengan berbagai aturan pelaksanaan, melainkan karena kekurangmampuan piranti keras berupa kelembagaan dan aparatur di tingkat daerah.
Secara umum ada beberapa kelemahan yang bisa dideteksi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, di antaranya adalah:
Pertama : Persepsi Kepala Daerah terhadap Pemerintahan Daerah. Persepsi atau yang lazim disebut sebagai tanggapan langsung terhadap sesuatu ini merupakan hal azasi yang mendasari sikap dan perilaku kepala daerah dalam menjalankan tugasnya. Jika kepala daerah mempersepsi jabatannya sebagai tujuan pribadi untuk mengaktulisasikan diri, maka yang terjadi kemudian adalah terjadinya persaingan tidak sehat untuk mencapai jabatan itu, dan ketika kemudian ia berhasil, ia akan menjalankan pemerintahan dengan semangat untuk melanggengkan kekuasaannya. Biasanya, persepsi kepala daerah ini akan menular ke seluruh aparatur karena kebijakan-kebijakan yang lahir cenderung menjadi gambaran nyata atas persepsi tersebut. Itulah yang kemudian turut diterjemahkan oleh pegawai dengan sikap ABS.
Padahal sesungguhnya, menjadi kepala daerah adalah bagian integral dari sebuah sistem pengabdian kolektif yang dilakukan oleh negara kepada warganya. Presiden hingga pejabat struktural terendah adalah sekumpulan pelayan masyarakat yang tugasnya hanya bermuara pada satu kalimat : Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kedua : kemampuan SDM Aparatur di daerah memang relatif rendah. Secara statistik, jumlah aparatur daerah yang menyelesaikan pendidikan strata yang lebih tinggi rata-rata lebih rendah dibandingkan pada level pemerintahan yang lebih tinggi (seperti di Provinsi dan pusat). Hal itu berdampak pada kemampuan menerjemahkan dan menafsirkan aturan dan kebijakan yang pada gilirannya berkibat pada inefisiensi dan inefektifitas kebijakan itu pada tataran implementasi. Secara kasat mata memang hal itu tidak tampak. Namun jika ditelusuri lebih seksama terdapat biaya kelambanan, biaya kesalahan prosedur, biaya tidak terduga yang harus ditanggung oleh daerah, yang kesemuanya menjadikan ongkos bagi tercapainya kemajuan daerah semakin mahal.
Kebijakan dan aturan dari pemerintah level lebih tinggi, meskipun tidak selalu sempurna, namun sudah memenuhi kriteria standar akademik sehingga relatif dapat diimplementasikan. Untuk itu dibutuhkan kecerdasan aparat di daerah untuk mampu menyelami filosofi dan makna kebijakan tersebut serta memahami secara paripurna baik tekstual maupun kontekstual.
Ketiga : rendahnya kualitas asistensi dan pembinaan dari pemerintah di level yang lebih tinggi. Pemerintah pusat dan provinsi bukannya tidak pernah melakukan rapat koordinasi dengan pemerintah daerah. Juga bukannya tidak pernah melakukan bimbingan teknis, pendidikan, pelatihan dan sebagainya. Namun kualitas kegiatan itu relatif rendah karena jarang ditindaklanjuti dengan evaluasi yang nyata dan ketat. Setiap ada aturan baru yang diterbitkan, dilakukan sosialisasi dan pembekalan. Namun prosesnya lebih banyak bersifat formalitas. Tambahan lagi kegiatan tersebut selalu dikesankan sebagai upaya “pemanfaatan” di akhir tahun anggaran.
Idealnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi menggunakan perangkat pengawasan internalnya secara maksimal untuk “memaksakan” implementasi yang tepat atas hasil pembinaan itu.Dari ketiga hal tersebut, ada pula mekanisme yang tidak berjalan sebagai bagian dari proses manajemen pemerintahan di daerah, yaitu reward and punishment. Daerah-daerah yang berhasil mewujudkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, kurang mendapatkan penghargaan yang setimpal. Akibatnya tidak tersedia cukup dorongan bagi daerah lain untuk lebih berprestasi. Sebaliknya juga, daerah-daerah yang gagal, tidak diberikan punishment yang membuat daerah lain jera melakukan kesalahan yang sama.
Kesimpulannya, betapapun bagusnya revisi UU 32 tahun 2004 nanti, tetap tidak bisa diharapkan perubahan yang signifikan, sepanjang tiga plus satu kelemahan penyelenggaraan Pemerintahan daerah itu dikikis melalui upaya yang sistematis.
Wallahu a’lam bish shawaab.

Tidak ada komentar: