Kamis, Desember 15, 2011

Opera itu berjudul : Sidang Itsbat


Prosesi pemantauan hilal yang dilanjutkan dengan Sidang Itsbat yang dipimpin oleh Menteri Agama RI pada tanggal 29 Agustus 2011, tampak hanya sebagai opera
yang berujung pada kegaduhan sosial. Alasannya sederhana, skenario dan endingnya telah diketahui oleh segelintir orang. Khususnya para ilmuwan, astronom dan orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang itu.
Memang secara kasat mata, prosesi pemantauan hilal dan sidang itsbat itu teramu secara apik sehingga oleh media bisa ditampilkan sebagai tontonan yang menegangkan. Melalui liputan langsung yang disiarkan ke seluruh penjuru tanah air, masyarakat diajak menyaksikan dramatisasi peristiwa itu dari awal hingga akhir dan merasakan suspense ketegangannya.
Pada saat itu, orang yang awam seperti saya menyaksikan penggambaran bahwa hilal itu adalah sesuatu yang unpredictable, sesuatu yang bisa muncul dan bisa juga tidak. Jadilah masyarakat (utamanya ibu-ibu) dibuat harap-harap cemas menanti keputusan Menteri Agama. Berharap 1 syawal jatuh pada malam itu sehingga keesokan harinya bisa berlebaran bersama.
Asa ibu-ibu sempat melambung ketika salah satu stasiun TV swasta menayangkan laporan tentang terlihatnya hilal di Jepara dan Cakung. Namun ketika sidang berlangsung, asa itu perlahan tapi pasti pupus dengan sendirinya. Kesaksian atas hilal di Jepara dan Cakung ditolak. Sejumlah ulama kemudian menyampaikan argumen sesuai dengan pemahanan dan keyakinannya. Asa itu semakin menciut ketika seorang tokoh dari Lapan menegaskan kompetensinya lewat komentar yang tegas dan lugas. Dan akhirnya, bom waktu yang ditunggu-tunggu itu meledak: 1 Syawal jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011.
Meskipun hanya seorang ibu (kebetulan karena tinggalnya serumah dengan saya) yang sempat saya saksikan reaksinya, tapi saya yakin reaksi itu relatif sama di kalangan ibu-ibu di seluruh Indonesia, yaitu kecewa. Kekecewaan itu bukan karena penetapan 1 Syawal dilakukan melalui sidang Itsbat. Juga bukan kecewa karena pilihan tanggal 30 atau 31 nya, melainkan semata-mata karena kepastian penetapan 1 Syawal tersebut baru diketahui pada saat-saat terakhir (ketika persiapan menyambut lebaran sudah matang semua).
Prosesi pemantauan Hilal dan Sidang Itsbat pada saat itu terlihat hanya sekedar prosedur tetap yang menjadi rutinitas. Data astronomi yang dipadukan dengan metode hisab, baik yang sudah usang maupun yang sudah maju, telah memaparkan dengan jelas 2 (dua) informasi yang akurat, yaitu: (1) Ijtimak akhir ramadhan jatuh pada tanggal 29 Agustus 2011 pukul 10:04 WIB; dan (2) Ketinggian hilal di atas ufuk pada petang harinya, tidak sampai 20 di seluruh wilayah Indonesia;
Dari kedua informasi itu, semua orang akan sampai pada satu kesimpulan yang sama, yaitu : Hilal tidak mungkin bisa dirukyat.
Berangkat dari kesimpulan itu, ormas islam yang menggunakan kriteria wujudul hilal sudah mengumumkan jauh hari sebelumya bahwa 1 syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, karena pada tanggal 29 hilal sudah berada di atas ufuk dan bulan terbenam setelah matahari. Namun ormas yang menggunakan kriteria imkanur rukyat meyakini bahwa meskipun hilal sudah berada di atas ufuk, tapi karena visibilitasnya sangat rendah, bahkan mustahil, maka bilangan bulan ramadhan harus digenapkan 30 hari (istikmal).
Persoalannya, kedua opsi yang sebetulnya sangat sederhana karena didukung informasi akurat dan data valid ini justru dibumbui dengan pengerahan tenaga pemantau hilal pada puluhan pos pemantauan yang tersebar di seluruh Indonesia. Sehingga ada kesan bahwa hilal bisa saja terlihat di suatu tempat. Kemudian diciptakanlah proses Sidang Itsbat sebagai eksekusi dari hasil pemantauan yang dikirimkan dari berbagai pelosok tanah air. Anehnya, jika ada pemantau yang melaporkan melihat hilal, kesaksiannya harus ditolak, karena secara ilmiah hilal mustahil bisa dirukyat. Apa yang semula sangat sederhana, tiba-tiba menjelma menjadi begitu rumit. Masyarakat dibiarkan menunggu hingga pukul 23.00 WIT untuk mengetahui kapan mereka seharusnya berlebaran. Sebuah ironi di tengah kemajuan zaman.
Jika dianalogikan, kasus pemantauan hilal pada tanggal 29 Agustus 2011 lalu itu bagaikan mencari sesuatu yang sudah pasti ketiadaannya. atau dengan bahasa yang lebih sederhana : sia-sia alias mubazzir.
Terlepas dari metode hisabnya yang sudah usang, Muhammadiyah justru lebih berani menerobos belenggu rukyat untuk menghadirkan kalender yang benar-benar berfungsi sebagai kalender. Sesuatu yang menunjukkan karakter Islam sebagai agama yang mudah untuk semua kalangan, termasuk kaum yang tidak paham Ilmu Falak sekalipun. Justru dengan pengumuman lebih awal, Muhammadiyah memasang badan untuk siap dikritik dan dievaluasi. Faktanya, hingga malam pelaksanaan sidang itsbat, tak ada satupun keberatan atau koreksi yang ditunjukkan oleh ormas tertentu ataupun lembaga tertentu atas penetapan Muhammadiyah itu.
Harapan kita sebagai masyarakat, apapun kriteria yang digunakan oleh para ulama dan umara, tolonglah beri kami kepastian. Kemampuan astronom kita ternyata tidak kalah dari bangsa lain. Mampu memprediksi waktu ijtimak, ketinggian hilal, sudut elongasi dan sebagainya secara akurat. Sehingga kepada merekalah urusan hitung-hitungan ini kita serahkan.
Adapun persoalan ijtihad sesudah data disediakan oleh astronom, kita serahkan kepada para ulama. Persoalan mengikuti ijtihad mana yang akan diikuti, kita serahkan pada masing-masing individu. Tapi persoalan ketidakpastian yang dihadapi oleh masyarakat tidak bisa diserahkan kemana-mana. Karena masyarakatlah yang harus menanggung ongkos dari ketidakpastian ini.
Umat kita masih umat yang ummi, butuh kemudahan agar Islam dapat menjadi ruh dalam kesederhanaan pikiran dan intelektual kita. Bagi anda yang sudah memahami ilmu falak, tentu tidak sulit berijtihad dan memilih yang terbaik bagi anda. Ingat, sesederhana apapun lebaran itu, ia tetap merupakan peristiwa “besar” dalam hidup kita.
Wallahu a’lam bish shawaab.

Tidak ada komentar: