Kamis, Desember 15, 2011

Coto Makassar Warisan ibu


Lebaran dengan hidangan Coto Makassar? Sudah tradisi…. Ya, tradisi dalam keluarga kecil kami. Hidangan khas Sulawesi Selatan itu adalah menu utama setiap lebaran.
Hidangan khas lebaran yang lain, biasanya disediakan secukupnya, sekedar pelengkap yang jarang benar disentuh. Uniknya, karena kamilah sekeluarga yang bergotong royong meracik bumbu, memasak dan kemudian menghidangkannya. Kata ibu, resepnya didapat dari sahabatnya waktu sekolah, tapi konon sudah dimodifikasi oleh ibu sendiri. Beberapa keluarga dekat yang sudah mengenali kebiasaan kami itu, biasanya langsung mampir segera sesudah shalat Ied bubar. Tidak jarang mereka memujinya sebagai saingan berat dari Warung Coto terkenal yang ada di kota kecil kami.
Karena kehidupan ekonomi kami yang pas-pasan, maka hari lebaran adalah saat istiewa, di mana kami bisa menikmati Coto Makassar sampai benar-benar puas. Pada hari-hari biasa, hidangan itu jarang kami dapatkan, walau ada segelintir warung di beberapa sudut kota kecil kami, tapi kami kadang tidak punya cukup uang untuk membelinya. Jikapun kebetulan ayah punya uang, biasanya yang dibeli cuma satu porsi, tapi kuahnya kami minta agar diperbanyak, supaya kami sekeluarga bisa kebagian. Itulah sebabnya, moment hari lebaran selalu menjadi istimewa, karena kami dapat menikmati coto makassar sepanjang hari. Begitu ingin, tinggal ambil mangkuk, sendok dan campur sendiri di dapur.
Begitulah setiap tahun, sejak aku masih kecil, bahkan mungkin sejak aku belum dilahirkan, kebiasaan itu sudah berlangsung dalam keluarga kecil kami. saat usiaku sudah cukup untuk bisa membantu-bantu, akupun mulai dilibatkan oleh Ibu. Awalnya hanya menuruti perintah ibu atau kakak sulungku yang juga laki-laki. Tapi seiring dengan pertambahan usiaku, aku mulai kebagian tugas yang kemudian secara tetap menjadi spesialisasiku. Menurutku itulah tugas yang paling menyedihkan, karena dalam melakukannya, aku harus berurai air mata. Mengupas dan mengiris halus bawang merah.
Kakakku yang sudah lebih cakap, bertugas menyanggrai kacang tanah, ketumbar dan merica. Tugas itu tidak ringan, dibutuhkan energi yang cukup besar serta kehati-hatian yang tinggi. Ketiga bahan itu harus matang dengan sempurna, agar cita rasa cotonya nanti juga sempurna.
Sementara itu adik perempuanku, bertugas mengupas lengkuas dan sereh. Terkadang dalam melakukan tugasnya ini, ia mengupas pula sedikit kulit tangannya. Tugasnya bermandikan darah, begitu kami berseloroh setiap kali tangannya terluka. Sedangkan adik bungsuku, karena masih belum bisa mengerjakan tugas tertentu, kadang hanya muncul sesekali dan kemudian menghilang kembali karena tidak tahu mau melakukan apa.
Sehari menjelang lebaran, aktivitas rutin itu dimulai. Usai shalat subuh, ayah dan ibu sudah ke pasar untuk membeli kulit ketupat terbaik yang bisa mereka dapatkan. Juga beberapa kilo daging dan jeroan sapi, serta berbagai macam bahan yang akan dibuat sebagai bumbu. Saat mereka pulang, sepeda motor butut ayah akan tampak penuh karena beliau terbenam di antara kulit ketupat yang jumlahnya bisa mencapai seratusan.
Usai berganti baju, ibu mulai mengisi kulit ketupat dengan beras yang telah dibersihkan dan direndamnya sejak sebelum subuh. Kemudian dimasaknya dengan sebuah panci berukuran besar. Bahan bakarnya adalah kayu kering yang dikumpulkan dari tepi hutan atau bekas bahan bangunan yang sudah tidak terpakai.
Satu pekerjaan selesai. Tinggal menjaga agar apinya tetap menyala dan sesekali menambahkan air jika air di dalam panci menguap. Ayahlah yang mendapat tugas itu. Biasanya jika kakakku selesai menyelesaikan salah satu tugas, ia akan turun membantu ayah.
Prosesi pembuatan coto dimulai. Pertama-tama ibu memilah jeroan dan daging sapi untuk dibersihkan. Jeroan harus dicuci berkali-kali dengan air biasa, lalu terakhir dengan air kapur untuk menghilangkan bau tidak sedap yang biasa menyertainya. Selanjutnya, daging dan jeroan itu direbus sampai matang dengan menggunakan panci tanah. Konon rasa coto kurang nikmat jika menggunakan panci alumunium, begitu kata ibu. Daging dan jeroan yang sudah matang kemudian diangkat dan ditiriskan. Sementara air kaldu hasil rebusannya disimpan untuk nanti jadi kuah coto.
Kacang, ketumbar, dan merica disanggrai satu persatu sampai matang. Lengkuas, sereh dan bawang putih dikupas lalu dipotong-potong dalam ukuran yang kecil agar nantinya mudah dihaluskan. Bawang merah setelah dikupas dibagi menjadi dua. Yang satu bagian diiris halus, sedangkan sisanya dibiarkan bulat-bulat. Bawang merah yang sudah diiris nantinya akan digoreng dan dijadikan sebagai bahan pelengkap, ditaburkan bersama-sama dengan irisan daun bawang dan seledri di atas mangkuk berisi coto.
Kacang, merica dan ketumbar yang sudah disanggrai kemudian ditumbuk halus. Demikian pula bahan bumbu yang sudah dikupas. Karena jumlahnya cukup banyak, maka penumbukan dilakukan sedikit demi sedikit agar tekstur bumbunya jadi halus dan mudah dicampur. Tugas ini cukup berat dan butuh waktu yang cukup lama. Kami anak-anak secara bergiliran menumbuk dengan alu yang terbuat dari kayu yang berat dan masif. Ibu mengawasi kami dan menjaga kualitas hasil tumbukan kami itu dengan seksama.
Yang membuat tugas itu menjadi lebih berat adalah karena kami semua dalam keadaan berpuasa, masa-masa ba’da dhuhur hingga menjelang Ashar adalah masa-masa paling sulit. Kantuk yang tidak tertahankan, belum lagi persediaan energi dari karbohidrat yang kami santap saat sahur mulai menipis. Alu yang berat terasa makin berat. Kadang-kadang, pada saat yang sama, ibu juga sudah mulai mendesak kami untuk menambah kekuatan. Ibu sendiri bertugas menggoreng bawang merah yang sudah diiris halus. Jika ibu sudah mendesak agak keras, kadang kami protes dan usul untuk bertukar tugas dengan ibu. Tetapi ibu akan segera menolak, katanya menggoreng bawang merah ada seninya, tidak asal goreng. Memang bawang goreng ibu renyah dan harum, dan meskipun disimpan beberapa hari, tidak akan layu.
Ba’da Ashar, semua bumbu sudah tertumbuk halus. Dengan air secukupnya, semua bahan dan bumbu yang sudah ditumbuk halus itu diaduk rata hingga menyerupai bubur.
Ibu lalu menyiapkan sebuah wajan besar. Dengan menggunakan minyak goreng asli, bumbu yang menyerupai bubur itu ditumis sekaligus. Proses menumis ini sungguh tidak ringan. Karena jumlah bahan yang cukup banyak, maka dibutuhkan tenaga ekstra untuk mengaduk. Lagi-lagi kami bergantian mengaduk, agar bumbu tidak hangus dan matang secara merata.
Biasanya menjelang bedug maghrib, menumis bumbu yang melelahkan itupun rampung. Tandanya, bau semerbak bumbu coto tercium dan menyebar keseluruh ruangan dapur. Jika kegiatan itu selesai, kami semua sudah hampir kehabisan tenaga. Kadang kami tergolek hampir tak berdaya. Puasa hari terakhir itu biasanya selalu menjadi puasa yang terberat. Tugas kami selanjutnya adalah mengiris daging dan jeroan dalam ukuran kecil, lalu disimpan pada wadah tersendiri. Sementara itu, ibu memasak kembali air kaldu yang sudah ditambahkan dengan air hingga mendidih. Lalu bumbu yang sudah di tumis tadi dimasukkan seluruhnya ke dalam panci, diaduk hingga tercampur dengan rata. Sedangkan adik perempuanku biasanya menyiapkan daun bawang dan daun seledri untuk diiris tipis-tipis. Usai berbuka, kami sudah bisa beristirahat. Selesai mandi dan membersihkan diri, kami lalu menonton takbir keliling dan pesta kembang api.
Keesokan harinya, sesudah shalat Ied, kami buru-buru pulang. Tidak sabar menunggu untuk segera menata hidangan untuk menyambut tamu-tamu yang akan segera mampir. Lagipula, kami sudah tidak sabar menyantap hidangan Coto Makassar yang mengundang selera. Lalu akhirnya, bersama-sama dengan mereka, kami ramai-ramai menyantap hidangan khas itu dengan lahap.
Itulah yang dulu selalu terjadi setiap tahun. Saat kakakku menikah dan bertugas di daerah lain, aku yang menggantikan tugasnya, dan adik bungsuku juga sudah bisa terlibat secara aktif. Namun akhir bulan haji tahun lalu, masa-masa penuh kenangan itu berakhir karena ibu mendadak dipanggil menghadap ilahi.
Ayah kemudian menikah kembali dengan seorang wanita yang berasal dari daerah lain. Orangnya baik dan ngemong, serta mengerti keberadaan kami. Kehidupan berjalan normal kembali. Seperti biasa, saat ibu masih berada di tengah-tengah kami, walau terkadang terasa ada kekosongan dalam hati kami.
Kerinduan pada almarhumah ibu kembali membuncah pada lebaran tahun ini. Kesibukan rutin yang biasa mewarnai hari-hari kami sehari sebelum lebaran sudah hilang dari tradisi keluarga kami. Ibu tiri yang baik hati itu datang dan membangun kebiasaan menyambut lebaran yang jauh berbeda. Memang persiapan menyambut lebaran tidak lagi melelahkan, namun kemeriahan yang menyertainya tidak lagi bisa kami rasakan.
Pagi ini, sesudah pulang shalat Ied, kami sekeluarga berkumpul. Tidak ada lagi tamu dari famili dan kerabat dekat kami. Di hadapan kami terhidang berbagai jenis makanan khas lebaran yang lezat. Tetapi bukan Coto Makassar yang sudah jadi tradisi dalam keluarga kami. Melainkan makanan yang bisa dijumpai di mana saja.
Setelah ayah memimpin do’a bersama, kamipun mulai makan. Kuperhatikan adik perempuan dan adik bungsuku menyuap makanannya lambat-lambat. Sesekali mereka saling bertukar pandang. Hanya ayah yang tampak makan dengan lahap. Ibu tiriku dengan ramah terus menawarkan berbagai makanan dan mendorong kami untuk makan dengan lahap, tapi kami hanya terus mengiyakan. Aku kehilangan selera makan.
Aku benar-benar merindukan ibu. Juga merindukan coto buatannya. Mataku mendadak kabur. Aku menundukkan pandangan sambil diam-diam mengusap air mata yang menggenang di kelopak mataku. Pada saat yang sama, pandanganku bertemu dengan adik perempuanku. Dari balik kaca mata minusnya, aku bisa melihat kalau matanya juga memerah karena menahan tangis. Ada merasa kehilangan. Bukan cuma kehilangan sosok ibu, tetapi juga kehilangan makanan khas yang selalu disajikannya di hari lebaran.
Tenggorokanku terasa sesak. Susah payah aku menelan makanan yang ada di piringku, sementara pikiranku mengembara ke tahun-tahun yang silam. Kupandangi ayah yang tampak makan dengan lahap. Diam-diam aku berpikir, rindukah dia kepada ibu?
Adik bungsuku tiba-tiba meletakkan sendok di piringnya dengan keras. Suara dentingnya memecah kesunyian suasana. Lalu dengan suara memelas ia bertanya, “Yah, ada coto, nggak?”
Aku menyikut pinggangnya.
“Makanlah apa yang ada,” kataku setengah berbisik.
Adik perempuanku juga melotot, sementara ayah memandangnya dengan pandangan menegur.
“Tidak ada, nak. Masakan ibu nggak enak, ya?” Tanya ibu tiri kami sambil tersenyum.
Aku mengerti apa yang diinginkan adik bungsuku. Kamipun sebenarnya juga demikian, tapi kasihan ibu tiri kami yang sudah menyiapkan semua makanan lebaran ini dengan susah payah.
“Ayah, aku mau makan coto.”
“Sekarang mana ada warung coto yang buka,” kata ayah. “Nantilah kalau sudah ada baru kita beli.”
“Tapi aku inginnya sekarang, kayak lebaran dulu.”
Ayah terdiam, hanya sorot matanya yang memohon agar percakapan itu terhenti. Tapi dasar anak kecil, entah memang tidak paham isyarat itu, atau pura-pura tidak paham, ia terus saja merengek. Aku berusaha membujuknya, tapi rupanya gagal.
Untunglah suasana itu tidak berlangsung lama. Pintu depan tiba-tiba diketuk. Adik perempuanku segera bangkit membukakan pintu. Kudengar suara riuh dua orang bocah yang menyerbu memasuki rumah. Lidahnya yang masih cadel melafalkan salam. Itu keponakanku. Anak-anak kakakku yang sulung. Suasana sepi mendadak hingar bingar. Anak-anak itu mendatangi kami satu persatu dan menyalami kami di sekeliling meja. Kakakku kemudian muncul bersama istrinya. Di tangannya ada sebuah rantang besar. Sementara istrinya juga menenteng bungkusan.
Ibu tiriku menyambut mereka dan mengambil rantang dan bungkusan dari kakakku dan istrinya. Mereka menuju ke dapur. Tak lama kemudian ibu tiri kami keluar dengan sebuah mangkuk besar. Aroma coto makassar seketika memenuhi ruangan. Adik bungsuku langsung berteriak kegirangan, begitu pula adik perempuanku. Kupandangi ayah yang tetap terdiam, tapi matanya berbinar antusias.
“Tadi ada yang mau coto,” kata ibu tiriku. “Do’anya makbul.”
“Maaf, datangnya terlambat.” Kata kakak sulungku. “Tadi beberapa staf dari kantor langsung mampir di rumah.” Ia lalu mengambil tempat di sampingku. Meja makan kecil kami tiba-tiba penuh warna. Kami makan dengan gembira. Suasana rumah menjadi riuh rendah, apalagi ditambah celoteh nakal keponakanku yang masih kecil.
Diam-diam, aku bersyukur dan berterima kasih pada kakakku, berkat kemampuannya mewarisi keterampilan ibu, bisa membuat suasana lebaran kami tahun ini kembali berbinar. Sepertinya ibu kembali hadir bersama kami.
Aku rindu padamu, ibu.

Tidak ada komentar: