Kamis, Desember 22, 2011

DUA TANGGAL 1 DESEMBER

Dua tanggal 1 Desember
1 Desember 2011, Anakku yang ketiga lahir ke dunia, memperdengarkan tangisnya yang lantang. Inilah anakku yang bisa kusaksikan proses kelahirannya secara
langsung. Dua anakku sebelumnya terlahir tanpa sempat aku mendampingi karena tugas di daerah lain.
Hari-hari terakhir ini kulalui dengan menjalin keakraban dengan bayiku. Mengganti popoknya yang basah, memandikan, mengolesi tubuhnya dengan baby oil, menaburi tubuhnya dengan bedak, memakaikan pakaian dan sebagainya. Begadang karena kegelisahannya di malam hari. Terbangun karena rengekannya yang mencemaskan. Bayi itu benar-benar makhluk yang tak berdaya. Itulah masa-masa rentan penuh resiko yang tak bisa dianggap remeh.
Melihat tubuh anakku yang ringkih, kecil dan tak berdaya, tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di benakku, sekecil itukah diriku dulu saat pertama kali menghirup udara dunia fana ini? Tak berdaya seperti itukah diriku dulu saat aku meninggalkan rahim ibuku?
Tentu, jawabku sendiri. Tentu aku kecil dan tak berdaya seperti bayiku sekarang. Jangankan untuk menyusu di dada ibu, untuk sekedar bernapas dengan baik sekalipun, tak kan bisa kulakukan tanpa bantuan dari ibu.
1 Desember 2000, ibuku menghembuskan nafasnya yang terakhir. Aku tak ada disisinya di saat itu. Lebih enam jam setelah wafatnya, baru aku bisa melihatnya, hanya tinggal jasad tanpa kehidupan yang terbujur kaku. Saat itu aku merasakan kesedihan yang mendalam. Tapi kesedihanku saat itu, hanya sebatas kesedihan karena aku merasa kehilangan orang yang aku cintai dan aku hormati.
Namun, tanggal kelahiran anak ketigaku yang tepat sama dengan tanggal wafat ibuku, seolah membawa pesan, bahwa ibumu bukan sekedar orang yang engkau cintai dan engkau hormati, ibumu adalah pengejawantahan dari perhatian dan kasih sayang Allah yang menjelma di dunia ini dalam wujud seorang ibu. Orang lain boleh mencintai dan dekat denganmu, tapi tak ada yang bisa memberi perhatian, cinta dan kasih sayang seperti ibu.
Orang lain mungkin mencintai dan menyayangimu, tapi tak ada yang pernah sungguh-sungguh berjuang untuk membuatmu tetap bertahan hidup. Menjagamu terhindar dari mara bahaya serta merawatmu dalam sehat dan sakitmu, dalam bersih dan kotormu, dalam segala kondisi dan keadaanmu. Bahkan jika engkau terlahir tidak dalam keadaan normal sekalipun.
Pesan itu merasuk ke dalam benakku, menyentuh nuraniku. Tiba-tiba, aku merasakan kehilangan dan kesedihan yang jauh lebih dalam atas kepergian ibuku 11 tahun lalu. Diam-diam aku mengumankan seuntai do’a : Ibu, semoga engkau tenang di sisi Allah.

Tidak ada komentar: